Rabu, 14 Januari 2009

Gerbong Presiden dan Tangki Air Dibawa ke Sawahlunto



Gerbong Presiden, sebuah gerbong kereta api eksklusif yang pernah dipakai Presiden Soeharto milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) Divisi Regional II Sumatera Barat dibawa ke Stasiun Kota Sawahlunto.

Gerbong yang biasanya mangkal di Stasiun Simpang Haru ini dibawa bersama gerbong tangki air untuk mendukung operasional awal Kereta Api Wisata Sawahlunto.

"Gerbong Presiden dipinjamkan sementara, cuma dipakai di Sawahlunto tiga bulan, daripada stand by (parkir-red) saja di Padang," kata Husein Nurroni, Kepala Divisi Regional II PT Kereta Api Indonesia (KAI) Sumatera Barat dalam jumpa pers di Stasiun Simpang Haru, Padang.

Sedangkan gerbong tangki air diperlukan di Sawahlunto untuk membantu operasional Lokouap E1060. Sebab ‘Mak Itam' ini perlu air untuk mesinnya agar tidak kehausan.

Sementara, gerbong kayu yang terletak di Museum Kereta Api Sawahlunto saat ini sudah berada di bengkel Stasiun Simpang Haru, Padang untuk diperbaiki. Gerbong kayu ala kereta api zaman cowboy ini akan dijadikan gandengan Mak Itam agar nuansa tempoe doeloenya terasa.

Husein Nurroni dengan sejumlah karyawan Divre II, jurnalis dari sejumlah media, fotografer, dan MPKAS (Masyarakat Peduli Kereta Api) ikut berangkat dengan kereta api yang membawa gerbong kepresidenan, gerbong tangki air, dan dua gerbong kelas ekonomi sejak pukul 08.00 WIB menuju Sawahlunto.

"Ini ujicoba ketiga jalur Padang-Sawahlunto dilewati," kata Husein.

Sementara, Loko Uap E1060 yang kini berada di Sawahlunto rencananya juga akan diuji coba dengan menggandeng gerbong kepresidenan setelah sampai di Sawahlunto.

"Sayang Loko Uap E1060 tidak bisa lagi dibawa melewati Lembah Anai dan hanya di jalur datar karena giginya sudah habis, sedangkan spare part-nya tak ada lagi yang jual," kata Husein.

Rabu, 07 Januari 2009

Kota Berantai Indonesia

KOTA SAWAHLUNTO TEMPO DOELO











KANTOR BUKIT ASAM SAWAHLUNTO














Sejarah Sawahlunto Berantai

Batu bara di Sawahlunto terpendam jauh di bawah tanah. Dahulu, pada awal penambangan dibuat terowongan besar di kaki bukit untuk pekerja dan lori pembawa batu bara keluar-masuk.

Di bagian dalam terowongan, penggalian bersimpang siur kiri-kanan dan atas-bawah. Supaya tidak runtuh, terowongan itu disangga dengan balok kayu. Ada kalanya terowongan itu runtuh juga hingga ada pekerja yang mati karena terkurung atau tertimbun reruntuhan.

Bekerja di tambang itu sangat berat dan berbahaya, tapi gajinya sangat kecil. Akibatnya penduduk sekitarnya tidak mau bekerja di sana. Mana yang bekerja dalam waktu sehari dua hari mereka sudah lari.

Supaya pekerja tambang itu tidak bisa lari lagi, diambillah orang dari pulau seberang dengan paksa. Pada umumnya, mereka itu berasal dari Pulau Jawa.

Sekitar 20 tahun kemudian kerja paksa itu diganti dengan cara kerja kontrakan, yaitu pekerja itu membuat perjanjian bekerja selama beberapa tahun.

Siapa yang minggat sebelum kontraknya habis dikenakan hukuman penjara. Pada masa penjajahan Belanda pekerja tambang itu disebut kuli kontrak.

Di samping kuli kontrak, tambang itu menggunakan pula orang yang hukuman penjara lebih dari 10 tahun. Mereka dihukum karena merampok atau membunuh. Semuanya berasal dari pulau lain. Supaya tidak melarikan diri, kaki mereka diikat dengan rantai. Mereka itu disebut orang rantai.

Entah bagaimana caranya ada juga orang rantai itu yang dapat meloloskan diri. Maka gemparlah seluruh penduduk oleh ketakutan. Ketakutan karena diceritakan bahwa orang rantai itu adalah orang jahat yang suka mengamuk.

Banyak ibu-ibu menakut-nakuti anaknya yang nakal dengan mengatakan, "Naik ke rumah. Ada orang rantai kabur". Hampir semua orang rantai yang lari itu tertangkap lagi karena tidak tahu mau pergi ke mana setelah dapat lari. Salah seorang yang tidak pernah dapat ditangkap adalah Karta.

Karta berasal dari Banten. Dia dihukum seumur hidup karena tuduhan membunuh tentara. Sebenarnya dia adalah seorang santri muda yang punya ilmu kedukunan berbagai penyakit. Maka dia sangat terkenal sebagai orang sakti.

Pada akhir abad ke-19, seluruh daerah Banten tidak aman. Di mana-mana rakyat menentang Belanda. Karta dicurigai sebagai penghasut rakyat melawan pemerintah.

Pada waktu tentara menangkap Karta, terjadilah perkelahian ramai antara tentara dan rakyat. Banyak orang yang mati. Seorang tentara terbunuh. Karta ditangkap dan dipenjarakan seumur hidup. Lalu diangkut ke Sawahlunto. Kedua kakinya dirantai supaya tidak melarikan diri.

Setiap pagi, kuli kontrak dengan orang rantai digiring ke dalam terowongan untuk menambang batu bara. Sore mereka digiring kembali ke tempat masing-masing. Kuli kontrak ke barak, orang rantai ke penjara.

Setiap rombongan dikawal oleh mandor yang umumnya berkumis panjang dan bercemeti di tangannya. Mereka itu orang yang bengis. Mandor untuk orang rantai juga membawa senjata api. Cemeti mereka mudah saja hinggap pada punggung orang-orang yang malas bekerja.

Semua pekerja tambang ingin melarikan diri agar bebas dari bekerja berat dan siksaan camnbuk atau makian kasar. Demikian pula dengan Karta. Dia selalu berpikir dan mencari kesempatan untuk lari. Siasat atau cara berpikir dan mencari kesempatan untuk lari.

Siasat atau cara yang dilakukannya ialah dengan berlaku baik, patuh dan rajin. Maksudnya supaya para pengawal mempercayainya dan tidak banyak lagi mengawasinya.

Beruntung pula Karta punya ilmu kedukunan. Banyaklah orang rantai atau kuli kontrak yang sakit dapat disembuhkannya. Kemanjuran pengobatannya terkenal sampai ke luar daerah tambang.

Lebih-lebih ketika ia berhasil menyembuhkan patah kaki seorang pimpinan penjara karena jatuh di lereng bukit. Sejak itu dia banyak mendapat keleluasaan bergerak.

Pada suatu subuh, seperti tiba-tiba petugas penjara tidak menemuinya lagi. Berita orang rantai lari segera saja menggemparkan penduduk sekitar Sawahlunto.

Berita itu cepat tersebar ke seluruh Minangkabau. Polisi dan tentara dikerahkan mencari Karta, tapi tidak berhasil. Konon Karta sempat menghirup udara kemerdekaan Republik Indonesia beberapa tahun lamanya.

Begini kisahnya dari mulut ke mulut penduduk Sawahlunto tentang pelarian Karta itu. Ibarat dongeng yang tak kunjung dari ingatan orang-orang tua di masa itu. Berminggu-minggu lamanya, Karta bersembunyi di hutan perbukitan sekitar Sawahlunto.

Menurut dongeng itu, pada malam ke-40 muncullah seorang tua berjubah serba putih, berjenggot panjang sampai ke lutut. Dia mengaku sebagai nenek moyang Karta yang sengaja datang dari Banten untuk membuka rantai pada kaki cucunya. "Orang biadab yang merantai manusia seperi anjing", katanya. Setelah itu raiblah dia sambil membawa Karta entah ke mana.

Kisah yang sebenarnya adalah demikian. Setelah itu Karta lolos dari penjara dia menghilir Batang Ombilin.

Ketika tiba pada anak sungai kelima, ia mudiki anak sungai itu. Pada hari ketiga, sampailah Karta ke sebuah pondok yang letaknya di tepi sungai. Di sana ada seorang laki-laki tua dengan seorang anak gadis yang usianya menjelang remaja. Laki-laki itu Kakek Pado dipanggil orang.

Anak gadis itu bernama Upik. Tampaknya Upik sakit. Badannya panas. Dua hari yang lalu dia disengat kalajengking ketika baru saja sampai di pondok itu mengantarkan makanan untuk kakeknya.

Demi melihat Karta yang kumal dan kakinya berantai, kedua penghuni pondok itu bukan kepalang takutnya.

"Jangan takut. Aku bukan orang jahat", kata Karta dengan wajah yang tersenyum ramah.

Demi melihat Upik sakit, Karta langsung mendekat. Dipegangnya ubun-ubun kepala Upik. Dibacanya mantera. Selanjutnya ditekannya bekas sengatan kalajengking pada kaki Upik yang telah sembab. Dibacanya lagi mantera. Setelah itu, disemburnya dengan ludahnya. Air ludah itu dibarut-barutnya sambil terus membaca mantera. Beberapa saat kemudian, Upik merasa sakitnya hilang.

Berita tentang orang rantai pandai mendukun cepat tersebar. Banyaklah orang datang minta diobati. Dalam pada itu, rantai di kaki Karta telah dibuka orang. Berita itu sampai juga ke polisi di Sawahlunto. Akan tetapi, setiap polisi datang, Karta disembunyikan penduduk. Semua orang sayang padanya karena selain pandai mendukun, Karta pun pandai mengaji.

Katanya selalu kepada orang-orang yang datang berguru atau berobat kepadanya, "Kalau kita berbuat baik, Tuhan akan membalasnya dengan kebaikan. Balasan Tuhan itu baru kita ketahui ketika kita menghadapi kesulitan, Tuhan datang menolong kita.

Kepada yang lain Karta mengatakan, "Perbuatan baik akan lebih berfaedah kalau kita punya ilmu. Kebaikan tanpa ilmu, ibarat nasi tanpa gulai".

Sejak itu, penduduk tidak lagi percaya bahwa semua orang rantai di Sawahlunto adalah orang jahat. Yang tidak jahat itu pastilah karena salah tangkap oleh fitnah. Entah karena kebetulan kemudian cara merantai orang hukuman yang bekerja di tambang dihapuskan.